Batik Cirebon
- Banyaknya perempuan Kabupaten Kendal Jawa Tengah, yang menjadi tenaga
kerja wanita (TKW) ke luar negeri, membuat Sri Lestari (34), warga
Jambearum Patebon Kendal, prihatin.
Berangkat
dari keprihatinannya tersebut, wanita yang bekerja di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan ini, mencoba mengurangi banyaknya
perempuan Kendal menjadi TKW. Salah satunya dengan memberi keterampilan
pada ibu-ibu yang ada di desa Jambearum Patebon.
“Apalagi dengan adanya berita 2 TKI yang dibunuh di Hongkong. Ini sangat mengerikan,” kata Lestari, Kamis (6/11/2014).
Batik Cirebon
- Lestari menjelaskan, hampir setiap rumah yang ada di desanya,
Jambearum, selalu ada keluarganya yang menjadi TKW. Hal itu sangat
memprihatinkan. Apalagi, anak-anak yang ibunya menjadi TKW, menurut
Lestari, lebih cenderung kurang terurus.
“Saya
prihatin dengan kondisi itu. Lalu saya mencoba memberi pelatihan
ketrampilan pada ibu-ibu yang ada di desa Jambearum,” ujarnya.
Awal
pelatihan yang diberikan untuk ibu-ibu, adalah menjahit. Sebab ada
salah satu warganya yang bisa menjahit. Namun karena tidak ada mesin
jahit untuk mendukung pelatihan, lalu diganti menjadi pelatihan
membatik.
Kebetulan,
pada tahun 2010, di Dinas tempat Lestari bekerja, ada program pelatihan
membatik. “Yang ikut, awalnya cuma satu ibu bernama Asri. Tapi,
kemudian saya dengan Asri mengumpulkan ibu-ibu yang lain, untuk member ketrampilan membatik,” akunya.
Hasilnya,
cukup menggembirakan. Sebab ada banyak ibu-ibu yang tertarik untuk
menekuni ketrampilan membatik. Apalagi, pemerintah Kabupaten Kendal,
sedang giat-giatnya memperkenalkan batik Kendal kepada masyarakat.
“Sekarang di desa Jambearum, sudah ada 15 pembatik, 3 diantaranya penjahit yang membuat pakaian batik,” ucapnya.
Jambe Kusuma
Sri
Lestari mengaku, cukup sulit menyadarkan ibu-ibu supaya tidak berangkat
ke luar negeri untuk menjadi TKW. Namun begitu, ia akan terus berusaha,
supaya niatnya untuk mengurangi TKW di desanya bisa berkurang.
“Niat yang baik, Insya Allah akan menghasilkan sesuatu yang baik. Untuk itu, saya akan terus berusaha,” tambahnya.
Lestari
menceritakan, sekarang ini sudah ada beberapa TKW, yang pulang ke rumah
dari luar negeri dan tidak mau berangkat lagi. Mereka memilih menjadi
pembatik. Apalagi, mereka sudah merasakan, hasil dari membatik. “Tapi
masih banyak juga, yang pulang lalu berangkat lagi menjadi TKW,” akunya.
Batik buah karya warga Jambearum itu, kata Lestari, diberinama batik Jambe Kusuma.Lantaran ketekunan ibu-ibu dalam melestarikan kain yang menjadi citra kepribadian bangsa tersebut, April 2013 lalu, desa Jambearum di tetapkan sebagai desa batik oleh Dirjen Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata Jateng. Pasalnya, di desa itu, saat ini sudah terproduksi, berbagai batik.
Mulai
dari berbagai jenis batik berikut motifnya, hingga pakain motif batik.
Selain itu, juga pernak-pernik batik seperti, sapu tangan, tempat tisu,
dasi, tutup nasi, taplak dan lainnya.
Batik
buatan desa ini, sudah dijual ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan
diekpor ke beberapa negara tetangga. “Memang sejak awal niat kami
membatik sebenarnya untuk mengurangi warga Jambearum untuk jadi TKW dan
meningkatkan ekonomi keluarga. Jadi bukan untuk mendapatkan gelar Desa
Wisata,” kata Sri Lestari, yang juga menjadi ketua Paguyuban Batik
Jambearum.
Kegigihan
Lestari dalam mengembangkan batik di desanya, juga mendapat perhatian
khusus dari Bupati Kendal, Widya kandi Susanti. Sehingga ibu 2 anak ini,
mendapat penghargaan Bupati Award.
“Tak
hanya mendapatkan gelar Desa Wisata, Desa Jambearum juga dijadikan
sebagai desa vokasi. Yakni desa yang bisa dijadikan tempat untuk belajar
oleh desa lain,” kata Lestari.
Setelah
mendapat berbagai gelar tersebut, desa Jambearum banyak mendapat
bantuan. Mulai dari pemerintah Kabupaten hingga Dirjen Kementrian
Pariwisata. Namun, diakuinya untuk berkembang sebagaimana desa wisata
yang utuh, saat ini Jambearum masih sangat jauh. Sebab, belum
terpenuhinya sarana dan prasarana yang layak untuk jadi Desa Wisata.
“Plang
pintu masuk bertuliskan Desa Wisata Batik juga belum ada, Pengelolaan
secara profesional sebagai tempat wisata juga belum dibentuk. Disamping
itu, juga belum ada promosi akan desa ini, ke berbagai daerah maupun
negara-negara lain,” akunya.
Dampak
positif menekuni usaha batik, diakui oleh salah satu warga Jambearum,
Sugiarti,( 32). Ia mengaku terbantu dengan adanya kegiatan batik yang ia
tekuni. Sugiarti mengaku, dulunya ia adalah buruh pabrik, yang setiap
hari meninggalkan rumah untuk bekerja di pabrik.
Namun
setelah menekuni batik, kini ia bisa konsen di rumah dengan membatik.
Satu batik tulis, yang ia hasilkan, bisa terjual dengan harga Rp
225.000-Rp 300.000 per lembarnya. Waktu pengerjaannya, sekitar 2-3 hari.
“Modal
awalnya sekitar Rp 100.000-Rp 130.000 untuk satu kain batik. Jadi dalam
sebulan saya bisa mengerjakan 10-12 kain batik tulis. Keuntungan saya
Rp 1,7 juta-Rp 2 juta per bulan,” akunya.
Keuntungan
tersebut, menurutnya, jauh lebih baik kalau dibandingkan harus kerja di
pabrik, atuapun kerja jadi TKW. Sebab kerja jadi buruh pabrik maupun
TKW tidak bisa dekat dan mengurus pekerjaan rumah tangga.
Ia
berharap kepada pemerintah membantu mempromosikan desa Jambearum
sebagai desa wisata. Dengan begitu, batik yang dihasilkan oleh ibu-ibu
Jambearum, bisa semakin banyak terjual. (batik Cirebon)
0 comments:
Posting Komentar